Soroti Bentrok Masyarakat di Rempang, Petra: Jika Belum Ada Kesepakatan Tertulis, Jangan Korbankan Masyarakat Demi Investasi

Editor: Redaksi

JALURNEWS.COM, BATAM – Wakil Ketua Ikatan Alumni (IKAL) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ITB Angkatan ke-2, Ir Petra Paulus Tarigan menyoroti bentrokan yang terjadi antara masyarakat Rempang dengan aparat keamanan, Kamis (7/9) lalu. Guna mencegah terjadinya bentrokan serupa ke depan, maka perlu kesepakatan tertulis lebih dulu antara BP Batam dengan masyarakat Rempang sehingga masyarakat tidak perlu jadi korban demi investasi.

“Jangan justru yang terjadi pada hari Kamis dimana aparat keamanan turun ke Rempang sehingga berujung bentrokan. Kalau seperti itu kan tindakan represif namanya,” kata Petra, kemarin (8/9).

Dia menekankan agar Kepala BP Batam, HM Rudi harus mencari solusi terbaik untuk masalah pemindahan masyarakat dengan turun langsung ke Rempang. Meski tidak menerima, namun Petra yakin tidak semua masyarakat tidak menerima jika Rudi melakukan pendekatan dengan baik dan turun langsung ke Rempang.

“Ilustrasinya jika orang tidur di emperan sekalipun jika diusir tiba-tiba ya pasti marah. Apalagi masyarakat yang sudah turun temurun tinggal di Rempang dan mereka disuruh pindah ya pasti marah. Indonesia itu punya keragaman dan etika,” urainya.

Ditambahkannya, upaya BP Batam mengosongkan Rempang dengan memindahkan masyarakat dari sana itu tentu saja diback up kementerian di antaranya Kementerian Perekonomian dan Kementerian Investasi. Namun, Petra mengingatkan bahwa cara-cara pengosongan Rempang untuk investasi yang ditempuh BP Batam itu juga belum tentu disetujui oleh Presiden Jokowi. Dia menegaskan bahwa Presiden Jokowi tentu saja tidak setuju dengan pemindahan masyarakat Rempang yang berujung bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan seperti yang dilakukan oleh BP Batam.

Dalam hal investasi di Rempang, Petra meyakini sudah ada feasibility study (FS) yang tidak hanya ditunjuk tapi tender terbuka supaya berlangsung secara fair. Feasibility study juga pasti akan ada anggarannya yang meliputi ganti rugi bagi warga yang sudah tinggal turun temurun di Rempang dan anggaran lainnya.

“Itulah feasibility studi, studi akademis, anggarannya ada dan jelas. Tidak mungkin investasi tanpa ada feasibility study. Tidak mungkin investasi tanpa ada feasibility study, itu tidak benar,” tegasnya.

Petra mempertanyakan apakah anggaran feasibilty study tersebut memang dipergunakan untuk FS. Dia juga mempertanyakan tentang ada tidaknya sosialiasasi yang dilakukan secara langsung ke masyarakat Rempang. Sosialisasi tidak hanya dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat namun yang terpenting adalah sosialsiasi yang menyentuh langsung kepada masyarakat lapisan bawah.

Saat sosialisasi dilaksanakan langsung ke masyarakat, tentu ada kesepakatan yang dicapai. Kesepakatan itu selanjutnya ditindaklanjuti dengan membuat kesepakatan tertulis. Jika belum ada kesepakatan tertulis yang dicapai antara pemerintah dengan masyarakat, maka seharusnya BP Batam belum bisa memindahkan masyarakat Rempang dari tempaat yang telah mereka huni selama puluhan tahun.

Upaya BP Batam menngosongkan Rempang itu tentu saja diback up kementerian di antaranya Kementerian Perekonomian dan Kementerian Investasi. Petra mengingatkan bahwa cara-cara pengosongan Rempang untuk investasi yang ditempuh BP Batam itu juga belum tentu disetujui oleh Presiden Jokowi. Dia menegaskan bahwa Presiden Jokowi tentu saja tidak setuju dengan pemindahan masyarakat Rempang yang berujung bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan seperti yang dilakukan oleh BP Batam.

Dicontohkan Petra bahwa BP Batam perlu meniru cara-cara yang ditempuh Kementerian PUPR yang membangun proyek infrastruktur jalan di sejumlah daerah di Indonesia. Dalam membangun infrastruktur jalan, bandara, irigasi dan lainnya tentu saja ada persoalan tanah termasuk ganti rugi ke masyarakat. Namun sejauh ini, proses ganti rugi lahan termasuk pemindahan masyarakat dari lahan yang dipakai untuk pembangunan infrastruktur itu berlangsung adem tanpa bentrokan.

“Pembangunan infrastruktur jalan di daerah-daerah lain di Indonesia itu pasti ada persoalan terkait lahan dan pemindahan masyarakat, tapi kan tidak seperti kasus pemindahan masyarakat Rempang yang berujung bentrok antara masyarakat dengan aparat keamanan,” tegasnya.

Kementerian PUPR dinilai bijak dalam melakukan proses ganti rugi dan pemindahan masyarakat dari lahan yang terkena proyek infrastruktur jalan, bandara, irigasi dan lainnya. Demikian juga pendekatan yang dilakukan Kementerian PUPR ke masyarakat juga berlangsung sangat baik. Jika di daerah lain model pemindahan masyarakat untuk proyek infrastruktur bisa berjalan baik, maka hal itu juga bisa dilakukan di Batam khususnya Rempang.

“Para pimpinan BP Batam dan aparat keamanan termasuk investor bisa belajar dari Pak Basuki Hadi Muljono, Menteri PUPR dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi lahan dan pemindahan masyarakat untuk proyek infrastruktur di Jawa, Kalimantan dan daerah lainnya,” ungkapnya.

“Sisi yang wajib kita ingatkan adalah sisi nilai kemanusiaan, karena sisi ini mengingatkan lahirnya Indonesia itu dari azas nilai-nilai luhur kebangsaan. Seperti 2 mata koin, sisi satunya azas/nilai ketaatan hukum. Di sini kita menaati aturan hukum yang ditetapkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat,” urainya.

Investor bisa masuk ke Indonesia termasuk Batam guna berinvestasi namun dengan cara-cara yang benar. Jika investor tidak mau berinvestasi karena merasa aturan di Indonesia tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka bisa dicari investor lain. Petra meyakini bahwa banyak investor yang mau berinvestasi di Indonesia dengan mengikuti aturan yang ada. (bes)

Berita Terkait